Kisah ini tentang tiga anak kecil yang kutemui di dalam KOPAJA sepulang dari kampus. Kisah ini tentang apa yang kulihat pada diri mereka. Dan kisah ini, tentang apa yang kurasakan akibat perjumpaan kami malam itu.
Hari itu aku sedang sakit. Sinus, radang, dan demam telah kuderita selama sekitar satu malam penuh. Hari itu aku menyeret diriku pergi ke kampus, demi memenuhi janji yang telah kubuat sebelumnya dengan seorang teman, untuk menjadi testee praktikum lab psikologi nya. Aku menaiki kereta dari Stasiun Pondok Cina sekitar pukul tujuh malam, dan sampai di Stasiun Duren Kalibata sekitar pukul setengah delapan. Setelah sampai di kalibata, aku segera menaiki salah satu KOPAJA yang terlihat paling kosong. Maklum, di hari kerja dan jam pulang kerja, KOPAJA biasanya penuh hingga ke ujung pintu. Alhamdulillah, hari itu aku yang sedang lemas mendapat duduk di kursi dekat pintu.
Lima menit, sepuluh menit, KOPAJA itu tak kunjung berangkat. Kemudian, naik seorang anak kecil laki-laki, berpakaian baju koko, menggunakan peci, menenteng plastik besar berisikan tisu untuk dijual. Di belakangnya kemudian mengikuti dua orang anak perempuan, satu lebih kecil darinya, dan satu lagi yang paling kecil. Satu dari anak kecil perempuan itu juga menenteng kantong plastik yang sama penuhnya, kemudian si anak lelaki tadi menuntun mereka untuk masuk ke bagian bus lebih dalam, agar tidak berdiri dekat pintu. Takut anak-anak perempuan itu terjatuh, pikirku.
Mereka pun mulai bernyanyi. Si anak laki-laki memimpin, anak perempuan mengikuti, dan satu anak perempuan lagi menepukkan tangannya mengikuti irama lagu. Sedikit rasa kecewa melewati pikiranku, kupikir awalnya mereka akan berdagang menjajakan tisu, ternyata mereka lebih memilih mengamen tanpa menjajakan tisu jualannya. Selesai bernyanyi, mereka pun mulai berkeliling meminta uang. Mereka akhirnya menghampiriku, dan aku lalu bertanya "tisu nya satu berapa dek?" yang dijawabnya "4ribu kak, mau beli?" "iya beli satu ya dek". Tanpa bermaksud apa-apa, aku memang saat itu masih memiliki cukup banyak tisu, tidak sedang butuh sebungkus tisu baru, tapi aku hanya berpikir mungkin lebih baik aku membeli tisu dibanding membayar mereka sebagai pengamen. Aku berikan selembar uang 5ribu rupiah, yang kembaliannya kubiarkan untuk mereka. Bukan untuk ngamen, tapi melebihkan bayaran tisu, tujuanku. Bukan apa-apa, aku hanya prihatin dengan mental mengamen dan meminta-minta, alangkah baiknya jika berjualan dengan giat saja, walaupun mungkin akan susah payah dan hasilnya tak seberapa. Namun halal, dan insya Allah lebih berkah, di situ lah poinnya.
Setelah selesai berkeliling, tiga anak tadi balik ke bagian depan bus. Mereka berdiri dekat jendela, saling bercengkrama. Mereka berdiri memunggungi arah duduk penumpang di kursi. Kemudian si adik perempuan yang paling kecil berceloteh "Eh kak ini kita berdiri mantatin orang tua loh", kemudian dia berbalik dan berkata pada seorang mas-mas dan seorang bapak yang duduk di kursi belakang nya, "pak, bang kan gaboleh mantatin orangtua ya, dosa ya?!" kemudian ia pun tertawa, dan kakaknya ikut tertawa sambil membelai halus kepala si adik. Mereka berceloteh dan bercanda sepanjang jalan. Si kakak lelaki tampak menjaga adiknya agar tidak terjatuh akibat gas dan rem bus saat berjalan, agar si adik tidak terlalu dekat dengan pintu. Kemudian kudengar seorang bapak di kursi depan mereka bertanya ke si anak lelaki "Dek kamu kelas berapa? ga sekolah?" yang kemudian dijawabnya. "Saya mah udah ga sekolah pak, saya mau ngehafal Qur'an, adek saya juga belum sekolah. Makanya saya ngamen biar mereka bisa sekolah". Kemudian si bapak itu tampak memberikan sedikit uang kepada si anak lelaki.
Aku memperhatikan tiga anak kecil itu sepanjang perjalananku hingga mereka turun. Tanpa sadar, pandanganku tak lepas dari mereka, dan aku tersenyum mengikuti celoteh dan canda mereka. Sesekali kupanglingkan wajah, agar mereka tidak merasa sedang kuamati. Dan tanpa arahan, tanpa sadarku, beberapa kali airmata menetes dan mengalir dari sudut mataku, ketika kusadari betapa akrabnya mereka. Bagaimana si kakak melindungi adiknya, bagaimana lembutnya perlakukan si anak lelaki kepada dua anak perempuan itu. Dan ketika kuamati lagi, ya Allah... Dua anak perempuan itu mengguanakan sandal model cr*cs di kaki mereka, dan si anak lelaki, bertelanjang kaki sepanjang perjalan. Sebegitukah si kakak rela mengalah pada adiknya?
Hatiku sakit, aku sadar bahwa aku belum menjadi sosok kakak yang sebaik itu di mata adik-adikku. Terlebih di balik segala yang terjadi padaku dan sekitarku saat ini, rasa lelah dan sakit yang sering membuatku mengeluh, segalanya seakan menjadi beban bagiku. Tapi mereka? Masih kecil, dua diantaranya lebih kecil dari adik bungsu ku, mereka berjalan seharian dari bis ke bis, menjajakan tisu, mengamen, dan bahkan si anak lekaki tanpa beralaskan sandal sekalipun. Aku merasa ditampar lagi, Setelah sekian lama Ia nampaknya mengamati dan membiarkanku larut dalam keras kepala dan keangkuhanku sebagai manusia, malam itu Ia kembali menegurku dengan cara halus...
Apalah arti sedikit demam dan meriang, apalah arti segala permasalahan itu, ketika sebenarnya banyak orang di luar sana yang mengalami nasib jauh lebih tidak beruntung dibandingkan apa yang kuhadapi sekarang. Malam itu, aku belajar lagi arti syukur, belajar lagi untuk "menari di bawah guyuran hujan", dari tiga anak kecil yang kutemui dalam KOPAJA. Malam itu, aku berdo'a kepada-Nya, agar Ia melindungi mereka, memberikan rizki yang banyak, halal, lagi berkah. Malam itu aku berdo'a agar Ia senantiasa melingkupi mereka dengan kebahagiaan, senyuman, dan canda tawa. Agar mereka selalu bertumbuh dengan bahagia, dan juga agar ia mengabulkan do'a yang sama, bagiku...
No comments:
Post a Comment
Feel free to comment. Please use appropriate words or sentences. Thank you.